Friday, December 19, 2008

Badai Kini, Mengukuh Nanti


Bismillah…


Badai.
Dan guntur mulai menyalak.
Lalu langit menggeliat dalam gelap, mengubah terang menjadi gulita dalam sekelebat.
Semesta menghitam seketika, menyeruakkan getir yang terpacu bersama cemas dan juga khawatir campur kejut tak berhingga.

Sejatinya perjalanan memberikan ceceran hikmah.
Sudah tertera sekian tandanya sejak dulu. Dan ribuan tahun lalu utusan-Nya mencontohkan itu.
Ada cerah, ada pula hujan tercurah. Ada pelangi, dan ada pula badai memerangi.
Sekuat apapun, julangnya dahan itu mungkin saja gugur di saat kilat menegur. Setegar apapun, kukuhnya be
nteng itu mungkin saja keropos dimakan waktu.

Ekstasi musim semi sepertinya memunculkan euforia, dimana alpa menjadi raja, ketika gairah bertumbuh di awal saja. Begitukah adanya?

Atau mungkin, barangkali alpa memang benar menjadi raja, dengan rangkai-rangkai cerita yang terajut sempurna di saat ini, sekarang ini, namun anyamannya lepas, karena benangnya tak cukup kuat menyangga.

Ada apa? Adakah engkau lupa?

Dentum demi dentum aksara menampilkan energinya.
Di depan hamparan hijau rumput itu, ”Eureka!” berterbangan tak tentu arah. Melayang kesana-kemari dalam himpunan parade gempita; tetapi ia lupa. Sungguh-sungguh lupa.

Dalam semi bersemaikan warna-warni itu, pijaknya melonjak-lonjak.
Langit antusiasme seperti tak terbendung, menemukan bentangan wadah seolah tanpa cakrawala. Lepas tak berbatas. Seperti ikan yang baru saja menemukan luas samudra setelah sebelumnya berenang dalam telaga, atau mungkin seperti bom waktu yang meledakkan energi besarnya.

Tapi sungguh.
Belum lagi setengah perjalanan, gemerutuk tulangmu mulai berbunyi. Butir demi butir peluh yang telah diduga sebelumnya akan muncul, juga mulai menampakkan diri. Terlalu cepat. Terlalu mengejutkan karena kedatangannya begitu mendadak.

Dan kucuran air bah dari balik langit semi tiba-tiba tumpah, walau sebelumnya mentari menyengat cerah.
Belum cukup sampai disitu, taufan mengibas tanpa iba.
Suasana berbalik porak-poranda, hancur dihempas sampai tanah. Bukan lagi gugur ataupun kerontangnya kemarau yang pecah. Tapi kali ini badai yang bersembunyi dibalik semi, yang membuat kejutan bagi mereka yang tak pernah bersiap-siaga sebelumnya.

Maka rapuhmu pun tersungkurlah.
Baru sadar betapa lemahnya, betapa kerdilnya kuatmu di hadapan Sang Maha. Bahwa semua berada dalam pengaturan-Nya, memang benarlah. Tetapi begitu pulalah jiwamu sebagaimana adanya ia. Sebentar terbang tinggi, sesaat lagi terbang merendah. Sebentar melambung jauh, sesaat lagi melesat jatuh.
Seperti istana pasir itu: tampaknya hitam kukuh, tetapi jua rapuh dan akan pasti jatuh meluruh.

Belum seberapa.

Bukankah kematian juga niscaya?

Maka ini belum apa-apa.

Jika semi, dengan nuansa biru langit, cericit beburung, atau bebungaannya yang berwarna-warni, melecut seluruhmu dalam dahsyatnya lentingan itu, maka bersiaplah pula menghadap amuk badai, yang memaksamu meluncur dalam kecepatan tak terukur. Luka, merah, sesak, hancur dan terburaimu, mungkin memang harus terbentur. Tapi pasti, lalu lemahmu menyusun balik kekuatannya, menggeliat bangkit walau masih tersaruk menahan sakit. Karena niscaya, Maha-Nya akan menopang walau tanpa diminta.

***

Badai lagi, atau mungkin tsunami. Akan datang lagi suatu saat nanti.
Mungkin esok, mungkin lusa, mungkin pula hari depan yang tak pasti.
Tapi tegapkan langkah, kukuhkan hati dan luruslah dalam menjalani. Lalu yakinkan lagi, lentingmu kan semakin meninggi!


Friday, 19.12.08, finish on 08:02pm


gbr dari : http://www.flickr.com/photos/21829439@N04/2763734090

No comments: